Mahasiswa FIK Asal Papua Adakan Bakar Batu

Bakar batu adalah prosesi kuliner tertua bagi masyarakat suku Dani Papua yang tinggal di pegunungan. Mereka adalah ras austronelanesia yang pertama datang di Tanah Nusantara dan kini menetap di kawasan timur Indonesia

5 Februari, diperingati sebagai hari pekabaran injil di Tanah Papua, dan tahun ini yang ke 170. Mahasiswa Papua yang tinggal di Salatiga ngadakan tradisi untuk mengenang perjalanan misionaris masuk ke tanah Papua.

Kayu kering ditata, lalu batu diletakan di atasnya, lalu ditumpuk kayu, dan batu lalu ditutup kayu. Batu dipanaskan dengan bara api dari kayu. Hampir 30 menit kayu membara dan batu memerah.

Di sisi lain, mahasiswa wanita menata daun pisang di lubang melingkar pada tanah. Batu panas diletakan didasar lubang lalu diselubungi dengan dedauan sebagai alas. Daun pisang di alasi dengan daun ubi jalar, lalu di letakan ubi jalar, sayuran, dan ditutup dengan daun.

Babi yang sebelumnya dimatikan, dibelah dan diambil isi perutnya, lalu dibersihkan. Babi yang sudah dibelak lalu diletakan diatas tumpukan dedauan dan ditutup kembali dengan daun pisang. Batu-batu panas diletakan mengelilingi tumpukan ubi, sayur, dan babi. Di atas tumpukan ditindih dengan batu panas lalu ditutup dengan dedaunan. Proses pemasakan dan pematangan ini berlangsung 2 jam.

Waktu yang ditunggu datang. Perlahan-lahan, lapia demi lapis dibongkar. Aroma sedap disertai asap uap air membumbung diangkas. Ubi merekah, daun sudah terlihat empuk, dan babi sudah berubah bentuk menjadi daging matang.

Lusianus Urokmabin mengisahkan, sebelum santap makan. Kami adalah ok atau air yang dingin, tenang dan menyejukan. Babi adalah simbol kemakmuran, kesejahteraan, dan kekayaan. Aroma dari bakar batu adalah simbol persatuan, dimana saat naik ke udara, tercium aroma, mereka berdatangan, duduk dan makan bersama dalam suka cita.

Kegiatan ini diikuti mahasiswa asal Papua dan dosen dan pimpinan FIK UKSW. Dekan FIK Ir. FerryF Karwur M.Sc., Ph.D menyampaikan jika bakar batu adalah tradisi tertua dan harus di lestarikan. Bakar batu tidak sekedar kegiatan, tetapi ini adalah identitas dan budaya yang syarat makna. Tahun depan, kita adakan yang lebih meriah.

Benar apa yang dikatakan lanus. Kami makan bersama dalam pesta. Tidak ada kasta, tidak ada pembeda. Semua makan dari sumber yang sama, kenyang, senang, dan terkenang. Bakar batu yang menyatu.

Bagikan:
Facebook
Share
WhatsApp